Kamis, 24 Februari 2011

Tatap langit



          Senja sepi di bulan Maret, merah menyala menenggelamkan matahari. Seram, sunyi, namun indah dan menawan hati. Aku pun telah duduk lama untuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang terlukis dengan warna yang merekah cerah itu.
          Langit sore... Aku dan Khansa, sahabatku, sering menikmatinya di bukit kecil hijau yang tak jauh dari rumah kami. Bukit yang dipenuhi wangi angin dan bisik-bisik rumput yang senantiasa bersyukur dapat hidup dan menghiasi alam dengan cantiknya.
          Namun, sore ini aku hanya sendiri. Itupun hanya di teras rumahku. Dan tiba-tiba, aku teringat Khansa, seorang sahabat, yang selalu ada saat senang dan sedihku, yang selalu mengingatkan di saat aku salah, dan tempat terbaik mencurahkan segala keluh kesah yang terkadang datang mengganggu.
          Tapi akhir-akhir ini, Khansa sering terlihat murung, pucat, dan matanya sembab. Sepertinya ia sedang tidak sehat, karena sudah tiga kali ia mendadak pingsan. Aku juga sudah berkali-kali bertanya, namun ia tak pernah mau menjawab dan hanya diam. Ini berbeda sekali dengan Khansa yang biasanya selalu ceria, bersemangat, dan ter-buka denganku.
          Malam telah larut, dan aku putuskan untuk tidur. Aku berharap bisa mimpi indah dan menyambut cerahnya hari esok. Aku pun telah memutuskan akan kembali bertanya pada Khansa. Semoga ia sudah bisa menjawab dan dapat kembali tersenyum.
          Aku bangun pagi-pagi sekali. Berangkat sekolah pun lebih cepat dari biasanya. Aku berjalan di koridor sambil melihat ke arah taman sekolah yang dipenuhi oleh bunga asoka merah. Embun masih membasahi daun-daun hijau segar yang setia menemani kelopak-kelopak merah yang cerah itu.
          Aku masuk kelas, dan apa yang ku dapati? Khansa… Khansa yang menangis tersedu-sedu. Kuhampiri ia, dan bertanya,
          “Khan, ada apa? Mengapa kamu nangis?”
          Khansa tak menjawab dan hanya diam. Aku tak tahan melihat ia begini. Aku tak rela sahabatku tak bisa tersenyum lagi. Dan aku kembali berkata,
           “Khansa, menurutmu apa itu sahabat? Sahabat adalah yang selalu ada saat senang dan sedih, selalu mengingatkan di saat salah, selalu mendengar, dan selalu mau menceritakan gundah dalam hatinya pada seseorang yang ia akui sebagai sahabat”
          Aku terdiam sejenak karena belum mampu melanjutkan kata-kata. Air mata mulai tergenang di pelupuk-pelupuk mataku. Sementara Khansa menekurkan pandangannya ke bumi, masih diam, masih sepi.
           “Jadi kau anggap aku ini apa? Orang yang kau sesali pernah kau kenal? Jangan buat aku kecewa Khansa… Kau sahabatku, tak bisa aku diam, sementara kau terus begini… Ayo jawab Khansa! Jawab!”
          Sepertinya Khansa mulai memikirkan kata-kataku. Di tatapnya aku sejenak dengan kedua bola matanya yang sayu. Kemudian ia menerawang menatap langit-langit kelas. Hingga akhirnya ia berkata dengan terbata-bata,
           “Din…a…aku sekarang sakit…ka…kata dokter…penyakitku…susah di…di-sembuhin… aku harus ikut pengobatan…dan operasi…yang resikonya besar… taruhannya nyawa Din…percuma rasanya aku hidup…kalau ternyata waktuku emang tinggal sedikit lagi…percuma Din…”
          Aku terkejut mendengarnya. Tak pernah aku menduga kalau sahabat yang ku-cintai akan menerima kenyataan sesulit ini. Ku hela nafas, dan berkata,
           “Khan, gak ada satu makhluk pun yang bisa tahu kapan kematian itu datang. Hanya tuhan yang tahu. Lagipula tiap penyakit pasti ada obatnya. Tuhan memang menentukan takdir, namun kita juga harus berusaha dan tidak putus asa. Biarkan Tuhan melihat usaha dan do’a kita”
          Khansa terdiam dan terpaku menatapku. Kemudian ia berkata,
          “Din, seandainya emang umurku gak panjang gimana?”
“Astagfirullahal’adzim, Khan, udah kubilang kan, usaha dulu, biar takdir Tuhan yang menentukan”
“Bukan gitu Dinda, maksudku, akan apa kamu jika aku gak ada lagi. Aku cuma ingin tahu itu…”
          Aku terkejut mendengarnya. Dan akhirnya aku mencoba menjawab,
           “Setidaknya aku bahagia pernah punya sahabat yang tak mau putus asa dan mau menghargai aku sebagai sahabatnya”
          Dinda tersenyum dalam tangisnya, kemudian di peluknya aku. Sayup-sayup aku dengar ia berkata,
          “Aku percaya pada takdir suci Tuhan, Din, aku percaya”
          Esoknya Khansa datang ke rumahku untuk pamit. Ia harus menjalani pengobatan di luar negeri. Sedih memang, tapi inilah yang terbaik untuk kami. Ia tersenyum, dan kemudian berkata,
          “Do’ain aku ya Din…”
          Ku balas senyumnya meski akhirnya aku menangis. Ku peluk ia dengan erat. Aku sayang dia. Ia lambaikan tangannya padaku, dan kubalas itu. Aku berkata dalam hati, semoga Tuhan masih mengizinkan kami untuk bersama.
          Aku dan Khansa hanya bisa berkirim surat. E-mail dan facebooknya sudah tak aktif lagi. Suratnya pun hanya dituliskan oleh ibunya. Karena tangannya sudah tak sanggup lagi mengetik ataupun menulis. Seharian ia hanya terbaring di ranjang, di temani oleh orang tuanya.
          Tiga bulan berlalu setelah perpisahan kami. Belum pernah kami berpisah begitu lama sebelumnya. Sedih dan berat memang. Tapi inilah yang harus kami jalani, demi sebuah persahabatan yang suci.
          Kemarin surat dari Khansa datang. Ia bilang sebentar lagi ia akan menjalani operasi besar yang akan sangat menentukan hidupnya. Ia memintaku berdo’a untuknya. Tentu saja Khan… tentu saja. Aku masih ingin melihat senyummu, aku masih ingin kita bercerita dan tertawa bersama. Dan aku masih ingin menatap langit sore bersamamu lagi.
          Sebulan setelah surat terakhirnya ku terima, Ibunya Khansa datang ke rumahku. Aku terkejut dan ku kira Khansa juga datang bersamanya. Namun ibunya hanya datang sendiri. Kemudian ia memberiku sepucuk surat.
          Kubuka surat itu pelan-pelan dan ku lihat sekilas. Aku yakin Khansa yang menulis surat ini. Terlihat sekali bahwa sulit untuknya menuliskan kata demi kata sendiri. Dan mulailah ku baca surat darinya itu

Untuk sahabatku : Dinda Zahra Alisa

Assalamu’alaikum wr.wb.
          Apa kabar Din? Aku harap kamu selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan. Aku juga Alhamdulillah sudah baikan berkat terapi yang rutin ku jalani. Jangan lupa do’ain aku terus ya...
          Din, langit itu ajaib ya… Ada matahari yang setia menyinari bumi, ada awan putih yang tak bosan mencurahkan nikmat untuk setiap makhluk, pelangi yang tersenyum malu, bintang yang mengintip berkelap-kelip, dan bulan yang dengan cantiknya menghiasi langit malam yang gelap.
          Apalagi keindahan langit sore yang yang sering kita lihat sama-sama. Begitu merah mempesona, dan ia tak pernah lupa menitahkan matahari untuk beristirahat, dan menggantinya dengan bulan dan bintang.
          Satu lagi, langit itu luas dan menghubungkan dunia. Jadi saat melihat langit, hati kita juga terhubung. Iya kan? Kalau kamu teringat denganku, jangan lupa ya, untuk menatap langit. Agar hatiku terpanggil dan bisa membalas sapamu. Kita ternyata emang harus selalu bersyukur terhadap nikmat dan kebesaran Tuhan ya.
          Nah…kalau nanti aku dipanggil, gak usah sedih ya. Kan ada langit. Aku akan selalu ada kok. Kamu masih bisa lihat aku kok di sana. Sudah dulu ya, jangan lupa do’ain yang terbaik untukku… Always smile…Ok?! J

Wassalamu’alaikum wr.wb
Sahabatmu



Khansa Annida
         
Aku merinding. Jantungku berdegup kencang. Dan Setelah melihatku membaca, ibunya Khansa berkata,
          “Itu…itu surat terakhir dari Khansa, yang sabar ya Din”
          Aku menangis… Tak ku sangka bahwa Tuhan memang ingin segera memanggilnya. Hilang sudah harapku untuk dapat melihat sahabat yang sangat kusayangi ada di sampingku lagi.
          Mungkin kami memang sudah terpisah dan tak mungkin bisa bertemu lagi. Tetapi ia selalu ada dan tak mungkin bisa lepas dari hatiku. Bersama dengan kenangan-kenangan terbaik yang ia berikan untukku. Khansa…semoga kau tenang di sana.
Ku tatap langit dan benar saja. Ia seolah menyimpan senyum Khansa. Kusampaikan padanya, bahwa aku bahagia pernah punya seorang sahabat yang sekarang
ada di tempatnya… Dan ia…melihatku sambil tertawa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar